Serapan Tenaga Terampil dan Terdidik Masih Rendah
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian foto : Naefuroji/mr
Penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan tinggi saat ini tengah banyak menghadapi banyak tantangan, khususnya globalisasi. Iklim kompetisi dalam perkembangan teknologi dan komunikasi menuntut adanya adaptasi dalam sistem pendidikan tinggi, baik dari segi kemampuan, dosen pengajar, maupun sarana prasarananya yang mempengaruhi output-nya. Persoalan yang paling menonjol dalam hal relevansi pendidikan tinggi adalah rendahnya serapan tenaga terampil dan terdidik dalam pasar tenaga kerja.
“Saat ini kita sudah memasuki revolusi industri 4.0. Perkembangan teknologi tersebut diduga akan berdampak pada hilangnya 45 hingga 50 juta pekerjaan dalam beberapa waktu ke depan. Percepatan teknologi di tahun 2030 ini, sekitar 2 miliar pegawai diseluruh dunia akan kehilangan pekerjaan, bahkan diramalkan profesi dosen pun semakin lama akan hilang,” ucap Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Panja Pendidikan Tinggi Komisi X DPR RI dengan Ketua KADIN dan Ketua HIPMI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/7/2018).
Hetifah mengatakan, banyak sekolah yang mulai mengadopsi kurikulumnya, yakni dengan berbasis tugas sebagai jembatan untuk meruntuhkan sekat penghalang bagi generasi untuk berfikir kreatif. Dikatakannya, dalam menghadapi hal tersebut Menteri Teknologi, Riset, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) juga telah mengubah sasaran strategisnya dengan lebih mengedepankan mutu, relevansi akses, daya saing, dan tata kelola.
“Rendahnya serapan tenaga terampil dan terdidik dalam pasar tenaga kerja tersebut menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri tidak selaras. Oleh karena itu, untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh dunia industri terhadap lulusan pendidikan tinggi, kami meminta KADIN untuk memberikan masukan bagi pembahasan dan perumusan rekomendasi Panja,” ujar politisi Fraksi Golkar itu.
Sementara itu, dalam paparan yang disampaikan oleh pihak pengurus KADIN yang diwakili oleh Dasril Y. Rangkuti, menyebutkan bahwa pendidikan tinggi itu sebaiknya meng- cluster sistem pendidikan. Dasril berharap Komisi X DPR RI dapat membantu secara regulasi agar sistem pendidikan pada pendidikan tinggi dapat di cluster, yakni berapa yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, berapa yang diproyeksikan ke dunia industri, dan berapa yang diproyeksikan ke bidang usaha.
“Clustering untuk pendidikan masih umum. Sementara industri sekarang berlari kencang, yakni sudah era ke 4. Dimana semuanya sebagian sudah dijalankan oleh robot,” ungkap Dasril.
Menurutnya, ada beberapa permasalahan yang harus dibenahi agar serapan tenaga terampil dan terdidik dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja. “Pertama permasalahan kurikulum. Kurikulum ke industri harus berbasis vokasi. Dan yang kedua permasalahan guru dan dosen. Masih banyak guru dan dosen yang belum produktif tetapi masih adaptif. Saat ini hampir semua pengusaha membuat training center, hal ini membuktikan bahwa lulusan perguruan tinggi dan pendidikan menengah belum siap kerja,” jelasnya. (dep/sf)